![](https://1.bp.blogspot.com/-qVY-bn31TzY/XrFy5r66FDI/AAAAAAAAAI8/mHvV8tJA6188UvR5FeMPGET0IpbvxB4IgCLcBGAsYHQ/s1600/-kompas.jpg)
Wasantara.online @ Jakarta - Rencana anggaran pertahanan sebesar US$ 124.995.000 atau sekitar Rp 1.788,2 triliun tidak masuk akal. Kebutuhan anggaran tersebut tertuang dalam rancangan Peraturan Presiden tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam) Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia Tahun 2020-2040 .
Hal ini dikritisi Ekonom senior INDEF Didik J Rachbini, ia menilai kebutuhan anggaran pertahanan yang mencapai ribuan triliun ini di luar kepantasan. Apalagi saat ini, pemerintah lebih membutuhkan dana untuk penanganan pandemi COVID-19.
"Menurut Didik bahwa rencana anggaran pertahanan dan keamanan sampai Rp 1.700 triliun sudah di luar kepantasan, momentumnya salah karena negara dalam keadaan menghadapi krisis COVID-19, tidak layak karena APBN sekarat dan syarat utang dan tidak masuk di akal sehat," ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (2/6/2021).
Didik menjelaskan, pandemi COVID-19 ini meruntuhkan banyak pilar-pilar sosial kemasyarakatan dan sangat memprihatinkan sehingga lebih memerlukan dukungan dibandingkan dengan melipatgandakan anggaran untuk pertahanan dan keamanan.
Belum lagi, dikatakan dia, tingkat kemiskinan naik sangat tinggi akibat COVID-19 karena sistem produksi runtuh, pengangguran terbuka meningkat dari 5% menjadi sekitar 8%. Lebih lanjut dia mengungkapkan, pengangguran terselubung juga sangat besar mengingat tingkat pertumbuhan ekonomi masih negatif.
"Yang bekerja penuh turun dari 71% menjadi 64% sehingga sisanya menjadi penganggur terbuka dan terselubung," katanya.
Didik mengatakan, dalam keadaan seperti ini usulan kebutuhan anggaran tersebut tidak pantas diajukan dalam jumlah besar. Sebab, bisa menguras anggaran sosial, pendidikan, kesehatan, hingga daerah.
Bahkan, dirinya menilai jika anggaran Rp 1.700 triliun disetujui Komisi I DPR, maka wakil rakyat pun tidak tahu diri dan kurang mengukur kepantasan dengan kondisi prihatin pada saat ini. (dfc/Edi)