Notification

×
Copyright © Best Viral Premium Blogger Templates

Iklan

Oplos RON 88, 90 Jadi RON 92, 4 Petinggi Anak Perusahaan Pertamina dan 3 Swasta Ditahan Kejagung

Rabu, 26 Februari 2025, Februari 26, 2025 WIB Last Updated 2025-02-25T17:40:01Z

WasantaraOnline.com, Jakarta - Oplos RON 88, 90 Jadi RON 92, Kejaksaan Agung (Kejagung) RI menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina, Subholding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada 2018-2023. Atas dugaan korupsi tersebut, negara dirugikan Rp193,7 triliun. 


Hal ini disampaikan Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, empat orang petinggi anak perusahaan PT Pertamina dan tiga lainnya dari pihak swasta.


"Perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp193,7 triliun," kata Abdul Qohar di Gedung Kejaksaan Agung Jakarta, Senin (24/02) malam.


Kerugian negara itu, kata Qohar, bersumber dari kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri, kerugian impor minyak mentah melalui broker, kerugian impor bahan bakar minyak (BBM) melalui broker dan kerugian dari pemberian kompensasi serta subsidi.


Modus para tersangka yaitu 'mengondisikan' produksi minyak bumi dalam negeri menjadi berkurang dan tidak memenuhi nilai ekonomis sehingga perlu impor dan melakukan mark up kontrak pengiriman minyak impor.


Selain itu, modus lainnya adalah 'mengoplos' impor minyak mentah RON 90 (setara Pertalite) dan kualitas di bawahnya menjadi RON 92 (Pertamax).


"Jadi, tersangka mengimpor RON 90, 88, dan di bawah RON 92. Hasil impor ini dimasukkan dulu ke storage di Merak [Banten]. Nah, lalu di-blended [campur] lah di situ supaya kualitasnya itu jadi trademark-nya [merek dagang] RON 92," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar saat dihubungi wartawan, Selasa (25/02/2025).



Atas perbuatan itu, para tersangka disangkakan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.


Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan dari kuasa hukum para tersangka. Sementara itu, PT Pertamina (Persero) menyatakan akan menghormati proses hukum yang tengah berjalan.


"Pertamina menghormati Kejaksaan Agung dalam menjalankan tugas serta kewenangannya dalam proses hukum yang tengah berjalan," kata VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso dalam keterangannya, Selasa (25/02).


Kejagung menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi yang ditaksir merugikan negara hingga Rp193,7 triliun. Mereka adalah:

1.⁠ RS, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga;

2.⁠ ⁠SDS, Direktur Feed Stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional;

3.⁠ ⁠YF, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping;

4.⁠ ⁠AP, VP Feed Stock Management PT Kilang Pertamina International;

5.⁠ ⁠MKAR, Beneficially Owner PT Navigator Khatulistiwa;

6.⁠ ⁠DW, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT. Jenggala Maritim;

7.⁠ ⁠GRJ, Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur PT Orbit Terminal Merak.


Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar mengatakan, penetapan tersangka itu usai penyidik memeriksa 96 saksi dan dua orang saksi ahli.


Usai ditetapkan sebagai tersangka, kata Harli, seluruh tersangka langsung ditahan. "Penyidik juga pada jajaran Jampidsus berketetapan melakukan penahanan terhadap tujuh orang tersebut," ujar Harli.


Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menjelaskan salah satu modus yang dilakukan tersangka RS yaitu melakukan pengoplosan bahan bakar minyak (BBM).


Harli mengatakan, RS diduga melakukan pembelian minyak bumi dengan kualitas RON 90 (setara Pertalite) dan di bawahnya yang kemudian diolah kembali di depo, lalu dijual dengan tipe RON 92 (Pertamax).


"Jadi dia [tersangka] mengimpor RON 90, 88, dan di bawah RON 92. Hasil impor ini dimasukkan dulu ke storage di Merak [Banten]. 


Nah, lalu di-blended [campur] lah di situ supaya kualitasnya itu jadi trademark-nya [merek dagang] RON 92," kata Harli kepada BBC News Indonesia.


Apa yang dilakukan tersangka itu, kata Harli, melanggar kewenangan yang dimiliki karena pencampuran seharusnya dilakukan oleh Kilang Pertamina Internasional, bukan oleh Pertamina Patra Niaga.


Saat ditanya, apakah praktik oplosan itu memengaruhi kualitas Pertamax (RON 92) yang dibeli oleh masyarakat di periode 2018-2023?


"Nah, kita enggak tahu kualitasnya… tapi yang 

pasti bahasa awamnya itu kan macam oplosan, dicampur. Mungkin secara rumusan teknisnya, pasti ada pengaruhnya," kata Harli.


Harli pun menjelaskan praktik pengoplosan itu 

menjadi salah satu komponen dari kerugian negara yang mencapai hingga Rp193,7 triliun.


Harli menambahkan hingga kini Kejagung fokus ke penyidikan terhadap ketujuh orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka.


"Apakah misalnya nanti ada pihak-pihak lain yang dapat diminta pertanggungjawaban Itu sangat tergantung dengan fakta-fakta yang terungkap dari pemeriksaan tujuh tersangka itu atau ada fakta lain yang berkembang dan itu akan terus didalami," kata Harli.


Sementara itu, Dirdik Jampidsus Abdul Qohar menjelaskan, kasus dugaan korupsi ini bermula ketika pemerintah menetapkan pemenuhan minyak mentah wajib dari dalam negeri pada periode 2018-2023.


Atas dasar itu, Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri, sebelum merencanakan impor.

Hal itu diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM No. 42 Tahun 20218 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi Untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri.


Namun, kata Qohar, aturan itu diduga tidak dilakukan oleh RS (Dirut Pertamina Patra Niaga) dan SDS (Direktur Feed Stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional) dan AP (VP Feed Stock Management PT Kilang Pertamina International.


Sebaliknya, mereka diduga bersengkongkol untuk membuat produksi minyak bumi dari dalam negeri tidak terserap sehingga pemenuhan minyak mentah dan produk kilang harus dilakukan dengan cara impor.


"Tersangka RS, SDS dan AP melakukan pengkondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya dan akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor," kata Qohar.


Setelah rekayasa itu dilakukan, ujar Qohar, PT Kilang Pertamina Internasional disebut mengimpor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga mengimpor produk kilang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.


Dan, tambahnya, impor ini menciptakan perbedaan harga pembelian minyak bumi yang sangat signifikan jika dibandingkan harga dari dalam negeri.


Selisih harga ini kemudian diduga dimanfaatkan para tersangka untuk melakukan tindak pidana korupsi.


"Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan harga yang sangat tinggi atau berbeda harga yang sangat signifikan," kata Qohar.


Qohar mengatakan tersangka SDS, AP, RS, dan YF selaku penyelenggara negara diduga telah mengatur kesepakatan harga dan penentuan pemenang dengan broker, yaitu tersangka MK, DW, dan GRJ.


"Seolah-olah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan demut atau broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi melalui spot yang tidak memenuhi persyaratan," ujar Qohar.


Setelah itu, dugaan kecurangan juga terjadi dalam jenis minyak bumi yang impor. Qohar mengatakan, tersangka RS diduga melakukan pembelian RON 90 (setara Pertalite) yang kemudian diolah kembali di depo sehingga menjadi RON 92 (Pertamax).


Tidak berhenti, kata Qahar, tersangka YF dari Pertamina Internasional Shipping juga menaikan (mark up) kontrak pengiriman minyak impor, yang mengakibatkan negara harus membayar biaya sebesar 13-15%.


"Sehingga tersangka MKAR [dari PT Navigator Khatulistiwa] mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut," ungkap Qohar.


Kejagung mengungkap proses impor itu dilalui dengan adanya permufakatan jahat dari para tersangka yang melibatkan penyelenggara negara dan pihak swasta.


"Pada saat K3S mengekspor bagian minyaknya karena tidak dibeli oleh PT Pertamina, pada saat yang sama PT Pertamina mengimpor minyak mentah dan produk kilang. 


Selanjutnya untuk kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga diperoleh fakta adanya permufakaan jahat mensrea antara penyelenggara negara yaitu tersangka SDS, AP, RS, dan YF bersama dengan broker yaitu tersangka MK, DW dan YRJ. 


Dimana para pihak, sebelum dilaksanakan dengan kesepakatan harga yang sudah diatur yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara," tutur Qohar.


Tak tanggung-tanggung, dampak dari rangkaian perbuatan para tersangka itu diprediksi menyebabkan kerugian negara hingga Rp193,7 triliun.


Bahkan, kata Qahar, dugaan perbuatan tersangka juga menyebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak yang akan dijual ke masyarakat. 


Akibatnya, pemerintah memberikan kompensasi subsidi BBM yang lebih tinggi bersumber dari APBN.


Sebelum menetapkan para tersangka, Kejagung telah melakukan penggeledahan di kantor Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM pada Senin (10/02).

Dari penggeledahan itu, penyidik menemukan lima dus dokumen, 15 unit telepon genggam, satu komputer jinjing, dan empat dokumen elektronik.


Lain halnya, Menurut Putra Adhiguna, analis energi dan managing director Energy Shift Institute, mengatakan bahwa praktik dugaan korupsi yang terjadi di tubuh Pertamina salah sautnya disebabkan oleh tidak kompetitifnya pasar pengadaan minyak dan gas (migas) yang hanya dikuasai oleh satu perusahaan, yaitu Pertamina.


"Ketika pintu masuknya itu terkonsentrasi pada satu perusahaan, tidak banyak kompetitor lainnya maka semakin terbuka adanya penyelewengan karena tidak ada transparansi harga," kata Putra.


Penyebab lainnya, kata Putra adalah karena tidak adanya transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengadaan migas yang dilakukan oleh Pertamina.


"Kita tidak bisa berbicara 'oh ini kecolongan'. Kata kecolongan itu kalau Rp10-20 miliar masih bisa lah. Tapi kalau sampai ratusan triliun, saya rasa itu menunjukkan pengawasan kelembagaannya sangat lemah dan longgar," kata Putra.


"Ini baru berbicara BUMN-nya yaitu Pertamina. Belum berbicara pertanggungjawaban untuk subsidinya."

Putra juga menduga masih ada pihak-pihak lain yang terlibat dalam dugaan korupsi yang dia sebut terstruktur dan sistematis ini, selain tujuh tersangka yang sudah ditetapkan oleh Kejagung.


Putra juga mengkritisi kinerja tim reformasi tata kelola migas yang telah berlangsung selama 10 tahun. "Kita ternyata belum bergerak kemana-mana. Jangan-jangan hanya terjadi pergeseran dari satu kerajaan ke kerajaan yang lain."


"Ketika pemerintah meminta rakyat berkorban dengan subsidi BBM, tetapi masih ada kecolongan ratusan triliun di dalam internal BUMN dan pemerintah. Tidak mungkin pemerintah bisa berharap rakyat bisa percaya dengan mudah," ujar Putra.



Komentar

Tampilkan

  • Oplos RON 88, 90 Jadi RON 92, 4 Petinggi Anak Perusahaan Pertamina dan 3 Swasta Ditahan Kejagung
  • 0

Terkini