
Jakarta - Menurut Ilmu Kesehatan, bahwa Merokok, dapat membunuh kita secara perlahan. Tapi Industri Tembakau Ingin kita percaya bahwa menaikkan Cukai adalah kejahatan yang lebih besar.
Begitulah paradoks yang mengemuka ketika Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) mengajukan permintaan kepada pemerintah untuk membekukan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dan harga jual eceran (HJE) untuk periode 2026-2029.
Alasan yang mereka sodorkan terdengar dramatis, industri hasil tembakau (IHT) disebut sedang "megap-megap", "tercekik", "dihantam rokok ilegal".
Namun, di balik narasi itu, ada realitas yang lebih kelam, prevalensi perokok remaja di Indonesia terus meningkat.
Dalam laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2023, prevalensi perokok usia 10–18 tahun tercatat sebesar 10,3 persen, naik dibandingkan 9,1 persen di tahun 2018. Target nasional untuk menekan angka tersebut menjadi 8,7 persen pada 2024 dipastikan gagal total.
Sementara GAPPRI bicara tentang bisnis dan tenaga kerja, rakyat membayar ongkos nyawa.
Bisnis Rokok, Antara Mitos dan Kenyataan
Henry Najoan, Ketua Umum GAPPRI, dalam pernyataannya mengungkapkan bahwa kebijakan kenaikan cukai multi-years 2023-2024 "terlalu tinggi" dan berdampak pada penurunan produksi rokok legal.
Henry juga memperingatkan bahwa simplifikasi tarif akan mempercepat kehancuran industri tembakau.
Namun, mari kita bedah faktanya.
Industri rokok di Indonesia didominasi oleh segelintir raksasa, HM Sampoerna (Philip Morris), Gudang Garam, Djarum (melalui Bentoel/BRI), dan perusahaan multinasional lainnya.
Dalam laporan keuangan 2024, sebagian besar perusahaan ini tetap mencatatkan laba bersih puluhan triliun rupiah. Sampoerna misalnya, membukukan laba bersih Rp 7,2 triliun pada 2024, hanya sedikit turun dari tahun sebelumnya.
Dengan kata lain, industri tembakau tidak sekarat. Mereka hanya menghadapi penyesuaian margin akibat strategi pasar yang mereka nikmati selama puluhan tahun: menjual produk adiktif murah kepada masyarakat luas.
Rokok Ilegal: Dalih Lama, Solusi Mandek
GAPPRI menuding maraknya rokok ilegal sebagai dampak kenaikan cukai. Tapi data Bea Cukai 2024 menunjukkan, persentase rokok ilegal di pasaran relatif stabil di kisaran 4-5 persen, jauh lebih kecil dibandingkan era 2015 saat mencapai 12 persen.
Artinya, jika rokok ilegal menjadi ancaman serius, masalahnya bukan pada tarif cukai, melainkan pada lemahnya pengawasan dan law enforcement.
Namun alih-alih mendorong pemerintah memperkuat pengawasan, GAPPRI justru meminta pemerintah mengendurkan tarif cukai, seolah-olah kejahatan (rokok ilegal) bisa diberantas dengan memberi kelonggaran pada pelaku legal. Logika yang absurd.
Tarik-Menarik Kepentingan
Desakan GAPPRI bukan sekadar soal angka, melainkan tentang siapa yang akan mengendalikan arah kebijakan fiskal dan kesehatan nasional ke depan.
Bila pemerintah mengikuti permintaan GAPPRI, maka Harga rokok tetap rendah dan mudah diakses, Prevalensi perokok anak sulit ditekan, Negara kehilangan momentum untuk menurunkan beban ekonomi akibat penyakit terkait tembakau.
Menurut laporan Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME), kerugian ekonomi Indonesia akibat penyakit akibat rokok diperkirakan mencapai lebih dari Rp 400 triliun per tahun, empat kali lipat dari total penerimaan cukai rokok yang hanya sekitar Rp 150 triliun.
Cukai Bukan Musuh, Melainkan Instrumen Perlindungan
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan berulang kali menegaskan bahwa kenaikan cukai rokok adalah alat perlindungan kesehatan publik, bukan sekadar sumber pendapatan.
Dalam beberapa negara, Australia, Inggris, Singapura, tarif cukai tinggi telah terbukti efektif menurunkan konsumsi rokok drastis, terutama di kalangan usia muda.
Indonesia, dengan populasi 270 juta jiwa, menghadapi ancaman bom waktu kesehatan jika ketergantungan terhadap rokok tidak diputus.
Tapi di tengah ancaman itu, GAPPRI dan kelompok-kelompok sejenis terus mendorong narasi tunggal: "cukai merusak industri", sambil menutup mata terhadap fakta bahwa industri ini telah merusak jutaan masa depan bangsa.
Apakah Kita Mau Bernegara untuk Pabrik Rokok?
Setiap tahun, jutaan anak Indonesia baru mulai merokok sebelum usia 18 tahun. Mereka bukan konsumen dewasa yang membuat keputusan rasional, melainkan korban dari industri yang selama ini dibiarkan tumbuh tanpa kendali.
Maka, pertanyaan mendasarnya bukan soal apakah cukai harus naik atau tidak. Pertanyaan besarnya adalah Apakah Indonesia berani memutus siklus ketergantungan ini? Atau kita akan terus membiarkan masa depan anak-anak bangsa dibarter demi keuntungan segelintir pabrik rokok?
Di ujung perdebatan ini, pilihan itu menjadi sangat jelas, memihak kesehatan rakyat atau menyerah pada desakan bisnis adiktif.