
JAKARTA, Ekonomi, Wasantaraonline.com - Di atas kertas, Kredit Usaha Rakyat atau KUR di bawah Rp 100 juta tak butuh agunan. Di lapangan, rakyat masih dipaksa menyerahkan jaminan. DPR diprotes, menteri mengelak, perbankan tak tersentuh. Sebuah kebijakan yang gagal di titik paling menentukan: implementasi.
Mimpi yang Dirampas di Meja Bank
"Saya cuma butuh Rp 20 juta buat nambah sparepart dan stok dagangan. Kata pemerintah, nggak perlu jaminan. Tapi di bank, mereka tetap minta sertifikat rumah," keluh Jepri (37), usaha bengkel Sepeda Motor di Medan. Harapannya tumbuh karena janji pemerintah. Tapi harapan itu dihempaskan begitu saja oleh realitas dingin prosedur bank.
Cerita Jepri menggambarkan ironi besar yang tengah dialami pelaku UMKM kecil di seluruh Indonesia, dijanjikan kemudahan, tapi dipersulit oleh sistem yang tak berubah.
Di banyak tempat, permintaan jaminan untuk pinjaman KUR di bawah Rp 100 juta masih jadi kenyataan pahit. Mereka disuruh percaya, tapi dikhianati oleh birokrasi.
Aturan Dibungkam Praktik Lapangan
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 1 Tahun 2023 menyebut secara eksplisit: KUR di bawah Rp 100 juta tidak memerlukan agunan tambahan. Tapi siapa peduli aturan jika kenyataan justru sebaliknya?
Menteri UMKM Maman Abdurrahman akhirnya mengakui kebenaran keluhan publik dalam rapat Komisi VII DPR RI, 30 April lalu. "Saya harus berani mengatakan... masih ada, minta agunan, itu masih terjadi," katanya.
Pengakuan Menteri ini terdengar lebih seperti pembelaan ketimbang solusi. Negara kalah oleh bank-bank yang ogah berubah.
DPR Jadi Sasaran Amarah, Publik Meradang
Ketua Komisi VII DPR RI Saleh Partaonan Daulay tak luput dari peluru protes warga. Setelah mengunggah konten soal KUR tanpa agunan di media sosial, ia justru jadi bulan-bulanan publik.
"Kalimatnya sudah nggak enak, yang kalau saya bacakan malu juga saya. Dituduh bohonglah, menipu rakyatlah," kata Saleh.
Lebih mengejutkan, Saleh mengungkap bahwa pengajuan KUR yang seharusnya mudah justru tetap dipenuhi labirin administratif.
“Yang dapat ya itu-itu juga,” ucapnya, seolah memberi sinyal keras bahwa akses KUR masih dikuasai elite tertentu.
Siapa Dalangnya, Negara atau Bank?
Di balik kisruh ini, publik bertanya: siapa sebenarnya yang bermain? Regulasi sudah keluar, tapi kenapa tak dipatuhi?
Menteri menyebut sanksi: bank pelanggar tak akan diberi subsidi bunga. Tapi siapa yang diawasi? Bank mana yang dihukum? Tak satu pun data dibuka.
Ini bukan sekadar soal jaminan. Ini soal kekuasaan bank yang tak tersentuh dan negara yang tak berani menegakkan aturan sendiri. Sanksi tanpa transparansi hanyalah ancaman kosong.
Penerima KUR: Elite yang Itu-Itu Saja
“Biasanya yang dapat itu orang itu juga.” Kalimat Saleh menyiratkan bahwa KUR bukan lagi alat pemberdayaan rakyat, tapi sudah menjadi proyek kelompok terpilih. Akses ke kredit negara yang seharusnya terbuka bagi semua, justru menyempit hanya bagi mereka yang sudah dekat dengan kekuasaan dan perbankan.
Di medan yang tak setara ini, rakyat kecil tak hanya kalah modal, tapi juga kalah relasi.
Satgas Gimik atau Solusi?
Sebagai jawaban atas kekacauan ini, Menteri UMKM menjanjikan pembentukan Satgas Perlindungan dan Pemberdayaan UMKM. Satgas ini digadang-gadang bisa menerima pengaduan 24 jam dan langsung menindak bank nakal.
Tapi apa cukup? Tanpa wewenang kuat, anggaran jelas, dan sistem pelaporan yang transparan, satgas ini berisiko menjadi kosmetik birokrasi semata. Lagi-lagi solusi administratif untuk masalah struktural.
UMKM: Korban Abadi Retorika Negara
Program KUR semestinya jadi tulang punggung pemulihan ekonomi rakyat. Tapi janji tanpa implementasi hanya melahirkan frustrasi.
Para pelaku UMKM terus jadi korban narasi manis yang dibungkam realitas pahit.
Dan bagi rakyat seperti Jepri, setiap janji yang tak ditepati bukan sekadar omong kosong. Itu luka yang membekas, dan bukti bahwa negara sering kali hadir hanya sebatas spanduk dan poster promo.