Notification

×
Copyright © Best Viral Premium Blogger Templates

Iklan

60 Tahun Setelah Soekarno, Prabowo Hadir di Monas, May Day dan Simbol Kekuasaan yang Kembali

Kamis, 01 Mei 2025, Mei 01, 2025 WIB Last Updated 2025-05-01T11:16:15Z

Jakarta, 1 Mei 2025 — Langit Monas belum benar-benar cerah pagi itu. Tapi dari segala penjuru, lautan manusia sudah mengepung pusat kota. 


Buruh, sebagian mengenakan seragam pabrik, lainnya membawa anak-anak mereka, berjalan kaki, naik motor, bahkan menyewa bus, demi satu tujuan menyuarakan hak. 


Namun pagi itu, ada yang berbeda—seseorang yang tak biasa muncul di tengah kerumunan May Day tiba-tiba datang: Presiden Prabowo Subianto.

Sejarah yang Berulang di Tengah Krisis yang Sama

Tanggal 1 Mei 1965, Presiden Soekarno berdiri gagah di hadapan massa buruh. Dengan gaya khasnya, ia menyebut kaum buruh sebagai "ujung tombak revolusi nasional". Waktu itu, peringatan Hari Buruh tak hanya disahkan sebagai hari libur nasional, tapi menjadi panggung politik penuh simbol.


Enam dekade kemudian, Prabowo Subianto—seorang pensiunan jenderal dengan latar belakang Orde Baru—mengulangi sejarah itu. Ia tiba di Monas pukul 10.00 WIB, melintasi barikade aparat, memasuki jantung demonstrasi buruh terbesar dalam dua dekade terakhir. Bagi sebagian orang, itu adalah kejutan. Bagi lainnya, itu adalah kalkulasi.


“Sejarah tak benar-benar berulang,” kata seorang aktivis muda dari FSPMI. “Tapi simbol kekuasaan selalu tahu kapan harus datang ke jalan.”


Enam Tuntutan dan Satu Realita

Dari atas panggung perlawanan, Said Iqbal, Ketua Partai Buruh sekaligus Presiden KSPI, membacakan enam tuntutan, yakni

1. Hapus outsourcing

2. Bentuk Satgas PHK

3. Wujudkan upah layak

4. Sahkan RUU Ketenagakerjaan yang berpihak

5. Sahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga

6. Sahkan RUU Perampasan Aset untuk melawan korupsi


Teriakan “Setuju!” menggema setiap kali tuntutan dibacakan. Tapi di balik tuntutan itu ada rasa letih. Buruh tahu, ini bukan kali pertama mereka meminta. Namun kali ini berbeda—mereka merasa sedang dilihat langsung oleh penguasa tertinggi.


Antara Solidaritas dan Kamera Politik

Prabowo datang tidak sendiri. Sejumlah tokoh elite ikut muncul: Ketua DPR RI Puan Maharani, politisi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka, Habiburokhman dari Gerindra, hingga Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Namun kehadiran mereka lebih mirip parade politik daripada solidaritas sejati.


“Kalau mereka benar peduli, kenapa RUU PPRT belum disahkan sejak bertahun- tahun lalu?” tanya Neni, buruh perempuan dari Bekasi, yang membawa anaknya naik bus sejak subuh. “Kami disuruh sabar terus. Tapi kami hidup, bukan menunggu.”


Kehadiran Prabowo memang membelokkan narasi. Kamera media lebih banyak menyorot gerak-gerik Presiden dibanding suara buruh yang bergema di bawahnya. Namun bagi sebagian aktivis, ini justru jadi kesempatan.


“Kalau Prabowo datang, maka tak ada alasan negara pura-pura tidak tahu. Sekarang kita tagih janji di hadapan publik,” kata Iqbal.


May Day di Tengah Ekonomi yang Retak

May Day 2025 berlangsung di tengah situasi ekonomi yang penuh tekanan. Harga-harga kebutuhan pokok melambung, PHK meluas pasca otomasi dan relokasi industri, dan ancaman deregulasi ketenagakerjaan masih menghantui. Buruh merasa tak hanya dilupakan—mereka merasa dijadikan beban ekonomi, bukan tulang punggungnya.


Di sisi lain, Prabowo tengah mempersiapkan konsolidasi besar sebagai presiden baru. Kehadirannya di May Day dianggap sebagai manuver simbolik untuk merangkul kelompok yang selama ini berseberangan: kelas pekerja, serikat buruh, dan kiri progresif.

Pertanyaannya: apakah itu tanda perubahan, atau hanya strategi populis?


Dari Monas ke Medan, dari Jakarta ke Balikpapan

May Day kali ini tidak hanya milik Jakarta. Lebih dari satu juta buruh turun ke jalan di 15 kota besar lainnya. Dari Medan ke Surabaya, dari Palembang ke Pontianak, suara buruh bergema serentak: tuntutan yang sama, kemarahan yang sama, dan harapan yang belum mati.


Di Makassar, buruh menggelar long march menuju kantor gubernur. Di Balikpapan, demonstrasi dibungkam dengan pagar kawat berduri. Tapi pesan itu tetap menembus batas: buruh tidak diam, dan mereka tidak sendiri.


Apa yang Akan Ditinggalkan Prabowo di Monas?

Kehadiran Prabowo hari ini akan dicatat sejarah. Tapi apakah itu akan jadi awal dari perbaikan, atau sekadar catatan kaki dalam buku propaganda?

Buruh telah menunjukkan kekuatan mereka. Sekarang giliran negara untuk menjawab: apakah kekuasaan akan kembali berpihak pada rakyat pekerja—seperti dulu Soekarno janjikan—atau akan mengulang sejarah dalam bentuk paling kosong: simbolisme tanpa substansi?

Komentar

Tampilkan

  • 60 Tahun Setelah Soekarno, Prabowo Hadir di Monas, May Day dan Simbol Kekuasaan yang Kembali
  • 0

Terkini