
Jakarta, Wasantaraonline.com — Uang hasil pemerasan jaksa Azam Akhmad Akhsya mengalir ke banyak tempat. Bukan untuk negara, bukan pula untuk korban investasi bodong, tapi untuk umrah, liburan ke luar negeri, sumbangan pesantren, asuransi, deposito, hingga beli properti.
Semuanya berasal dari pungli Rp 11,7 miliar yang diperas dari korban-korban Fahrenheit, skema robot trading bodong yang sempat mengguncang publik.
Fakta-fakta mencengangkan itu diungkap Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat saat membacakan putusan terhadap Jaksa Azam, Selasa (8/7/2025). Ia divonis 7 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsidair 3 bulan kurungan.
“Terdakwa menggunakan uang hasil kejahatan seolah untuk keperluan baik, padahal itu cara untuk membungkus citra dengan kedok religius dan sosial. Umrah, liburan luar negeri, sumbangan pondok pesantren dan semuanya dibiayai uang hasil pemerasan,” ujar Ketua Majelis Hakim, Sunoto, di ruang sidang.
Rp 8 Miliar ke Rekening Istri
Hakim membeberkan, dari total uang Rp 11,7 miliar yang dikantongi Azam, Rp 8 miliar dialirkan ke rekening istrinya, TA. Penggunaan uang itu tak sembarangan — semua diarahkan untuk membangun “perlindungan jangka panjang” atas kekayaannya yang diperoleh dari hasil korupsi.
Rinciannya:
- Umrah, liburan ke luar negeri, dan sumbangan pesantren: Rp 1 miliar
- Pembelian asuransi jiwa di bank BUMN: Rp 2 miliar
- Investasi deposito jangka panjang: Rp 2 miliar
- Pembelian aset tanah dan bangunan: Rp 3 miliar
“Terdakwa tidak hanya menikmati hasil pemerasan, tapi juga menyimpannya dalam bentuk investasi jangka panjang. Ini menunjukkan niat untuk menikmati hasil korupsi secara berkelanjutan,” tegas Hakim Sunoto.
Modus: Peras Lewat Kuasa Hukum Korban
Jaksa Azam tidak memeras korban secara langsung. Ia menggunakan jalur tak kasatmata — melalui kuasa hukum para korban investasi Fahrenheit. Uang yang seharusnya digunakan untuk proses hukum dan pengembalian kerugian, justru “disedot” untuk keuntungan pribadi.
Alih-alih memulihkan hak korban, Azam justru memperkaya diri. Dan ironisnya, sebagian uang haram itu dipakai untuk “beramal”.
Korupsi Berkedok Amal
Penyebutan sumbangan ke pesantren dalam sidang justru memancing pertanyaan publik. Hakim menyatakan, tak ada satu pun bukti yang menunjukkan niat tulus dari terdakwa — semua hanya strategi pencitraan.
“Mengalihkan uang hasil kejahatan untuk hal-hal seolah mulia tak menghapus kesalahan. Ini justru memperparah, karena menyalahgunakan nilai-nilai agama dan sosial,” ucap Hakim Sunoto.
Diberi Jabatan, Dikhianati
Azam sebelumnya dikenal sebagai jaksa yang menangani kasus-kasus besar. Namun kepercayaan negara dikhianati. Ia justru menggunakan kewenangannya untuk mengancam dan memeras korban.
“Sebagai aparat penegak hukum, terdakwa seharusnya melindungi korban, bukan memanfaatkan penderitaan mereka,” kata hakim.
Dengan putusan ini, publik kembali diingatkan bahwa wajah korupsi kini semakin kompleks — bukan hanya soal memperkaya diri, tapi juga menyamar sebagai amal dan ibadah.