GLOBALMEDAN.COM - JAKARTA, Revisi UU KPK mendapat banyak kritik. DPR dituding ingin melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terlebih, tak ada gembar-gembor saat revisi ini diusulkan dalam rapat.
Sejumlah anggota DPR menuding balik jika usulan revisi tersebut bukan berasal dari legislator. Justru, revisi UU KPK diusulkan oleh pihak lembaga antirasuah.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan menyebut usulan itu datang sejak November 2015.
"DPR selalu disudutkan, disalahkan. Padahal kami hanya merespon keinginan KPK sendiri," kata Arteria di kawasan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu (7/9/2019).
Mendengar pemaparan Arteria, mantan Ketua KPK Abraham Samad menyatakan pada November itu sudah tidak lagi menjabat. Pimpinan KPK saat itu dipimpin oleh seorang Plt Ketua KPK Taufiequrachman Ruki.
Oleh karena itu, dia akan meminta Ruki untuk mempertanggungjawabkan usulan tersebut.
"Kita nanti minta pertanggungjawaban Plt dalam hal ini Pak Ruki, karena apa yang dilakukan itu melanggar," ucap Samad.
Dia mengatakan, seorang Plt tidak bisa mengeluarkan kebijakan krusial, terlebih mengusulkan revisi UU KPK. "Enggak benar plt-nya," ucap Samad.
JAWABAN RUKI
Taufiequrachman Ruki membantah pernah mengusulkan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) kepada DPR, saat menjadi Plt Ketua KPK periode 2011-2015. Saat itu dia memimpin KPK untuk menggantikan Abraham Samad.
Ruki mengatakan, surat yang dia buat saat itu merupakan jawaban pimpinan KPK atas surat Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang meminta pendapat KPK terkait revisi UU KPK.
"(Surat ini) ditandatangani kami berlima. Tidak cuma Taufiek sendiri, tapi lima pimpinan. Apa jawaban kami terhadap surat itu? Pertama pada prinsipnya kami pimpinan KPK tidak setuju keinginan beberapa anggota DPR untuk merevisi UU KPK," ujar Ruki dikonfirmasi, Jakarta, Sabtu (7/9/2019).
Ruki menjelaskan, KPK menyarankan pemerintah dan DPR supaya melakukan revisi terhadap UU Tipikor, KUHP, dan KUHAP lebih dahulu sebelum merevisi UU KPK. Apabila melakukan revisi pun, harus demi agenda menguatkan KPK. "Terhadap rumusan substansi di atas, KPK berharap pemerintah bisa pertahankan usul KPK," ucap Ruki.
Sementara itu, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memegang bola panas revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Kurnia berharap, Jokowi tidak mendukung revisi tersebut.
"Bola panas ada di Presiden Jokowi. Kita harap dia tidak mendukung revisi UU KPK karena banyak dukungan publik juga supaya tidak direvisi," ujar Kurnia di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (7/9/2019).
Sebelumnya, DPR telah menyetujui revisi UU KPK dilanjutkan untuk dibahas. Semua fraksi telah menyatakan setuju revisi UU KPK menjadi usulan DPR dalam sidang paripurna, Kamis (5/9/2019).
"Problem serius di dua isu besar. Yang mana ICW bersama lembaga lain kerap menyuarakan kritik dengan argumentasi," kata Kurnia.
Anggota DPR Komisi III Nasir Djamil menilai, sulit jika revisi UU KPK diselesaikan di periode ini. Sebab, masa bakti habis akhir September ini. Namun, berdasarkan hasil revisi UU tentang perubahan perundang-undangan, revisi UU KPK bisa dilanjutkan dalam periode berikutnya tanpa masuk Prolegnas.
"Menurut saya nggak mungkin, nggak mungkin diselesaikan ini waktu sudah mau habis. Rasanya terburu-buru sekali. Saya pikir presiden akan berpikir kalau misalnya harus diselesaikan periode ini karena waktunya singkat," kata politikus PKS itu.
Kirim Surat ke Jokowi
Ditambah, kalau buru-buru disahkan, Nasir melihat ada kemungkinan bakal dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi jika ada gugatan.
Sementara saat ini kata Nasir, pimpinan DPR tinggal menyurati Presiden Jokowi tentang kesiapan membahas revisi UU KPK. Kalau Jokowi mengirimkan kembali surat presiden (Surpres) maka artinya pemerintah siap membahas revisi KPK.
"Kalau presiden menyatakan kesiapannya juga akan kirim surpres kepada DPR untuk bersama-sama membahas rancangan undang-undang," ucap Nasir.
Bentuk Serangan
Revisi UU KPK yang diinisiasi oleh DPR mendapat penolakan dari berbagai pihak. Bukan cuma KPK, tapi juga penolakan dilakukan oleh para pegiat antikorupsi. Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Arif Nur Alam, revisi tersebut merupakan bentuk serangan legislatif terhadap KPK.
"Hal ini (merupakan) bentuk legislation attack terhadap KPK. Upaya melemahkan KPK sudah dilakukan dengan berbagai metode-metode yang lain. Kita masih ingat upaya itu menggunakan hak angket," kata Arif di Kantor Transparansi Internasional Indonesia, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (6/9).
Menurutnya, hal itu jelas merupakan upaya dari legislatif untuk melumpuhkan lembaga antirasuah itu. Upaya lain di luar legislatif pun, kata Arif, kerap ditunjukkan terhadap lembaga tersebut. Arif mencontohkan, teror terhadap para petinggi KPK juga merupakan salah satunya.
"Laporan terhadap KPK (kriminalisasi). Dan menyiapkan (memasukkan) petinggi KPK dari orang-orang kepolisian," ucap Arif.
Arif juga meminta supaya pemerintah menangkal serangan legislatif terhadap KPK. "Kita harapkan pemerintah harus hadir, kita tahu bersama korupsi itu kejahatan luar biasa. Dibutuhkan keberanian dari presiden," tegas Arif.
Apalagi, lanjut Arif, presiden kala kampanye kerap menggemakan antikorupsi kepada pemilihnya.
"Saat momen kampanye, presiden kita secara gamblang (berkomitmen) akan membersihkan bangsa ini secara baik ke depannya," tutup Arif.
Diduga Salah Prosedur
Sementara itu, Pendiri Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti menegaskan, revisi undang-undang KPK menyalahi prosedur dan undang-undang. Hal ini, menurut Ray, apabila ditinjau dari beberapa sudut, seperti tata tertib DPR dan maupun undang-undang.
Ia melihat, misalnya saat revisi undang-undang KPK tersebut memaksakan diadakannya dewan pengawas bagi KPK. Kata Ray, hal itu jelas menyalahi perundangan, yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). "KPK itu lembaga independen di bawah presiden," kata Ray.
Selain itu, Ray melihat, dari sisi prosedural rapat di DPR pun menyalahi aturan. Ia meminta kepada semua pihak untuk memverifikasi terkait kehadiran anggota dewan dalam rapat yang membahas usulan revisi tersebut.
Menurutnya, yang datang secara fisik dalam rapat itu sejumlah 88 orang. Sedangkan, pihak DPR mengaku bahwa yang menandatangani kehadiran sejumlah 305 dewan. Oleh karenanya, kata Ray, jika total anggota dewan saat ini berjumlah 560, maka jumlah 305 sudah lolos kuota forum (kuorum).
"Tapi coba teman-teman media atau siapapun mengkroscek apakah 200 sekian yang tidak ada kehadirannya secara fisik itu benar-benar tanda tangan," pinta Ray.
Kalau tidak ada, lanjut Ray, maka rapat paripurna kemarin jelas tidak sah. "Kalau tidak ada, jelas rapat paripurna kemarin tidak memenuhi kuorum dan hasilnya (revisi UU KPK) juga tidak sah," tegas Ray.
"(Karena) menurut saya tidak memenuhi prinsip-prinsip yang diatur oleh konstitusi kita," tutup Ray.
(sumber: liputan6/merdeka)