
www.wasantaraononline.com - Berdasarkan data terakhir, biaya haji Malaysia tahun 2024/1445 H untuk jemaah muassasah ditetapkan sekitar RM 30.850 atau setara Rp105 juta.
Sekilas lebih mahal dibanding Indonesia. Namun, perlu dicatat: subsidi dari Tabung Haji Malaysia menutupi hingga 50-60 persen biaya riil. Artinya, jemaah hanya membayar sekitar RM 10.000–12.000 atau sekitar Rp35–40 juta.
Lalu bagaimana dengan layanan? Banyak studi dan testimoni menunjukkan bahwa Malaysia mampu menjaga standar pelayanan tinggi dari katering hotel hingga bimbingan ibadah.
Kuncinya? Tata kelola yang lebih profesional, minim intervensi politik, dan orientasi pelayanan, bukan proyek.
“Bukan biaya haji Indonesia yang terlalu mahal. Yang jadi masalah, kita terlalu banyak ‘tangan’ bermain di prosesnya,” kata Muhammad Syarifuddin, pengamat haji dan mantan staf ahli Kemenag.
“Mulai dari pengadaan akomodasi, transportasi, sampai katering, semua jadi ladang markup.”
Suara DPR: Minim Audit, Minim Transparansi
Komisi VIII DPR, mitra kerja Kemenag dalam urusan haji, beberapa kali mengeluhkan sulitnya mengakses laporan keuangan BPKH secara terperinci. Padahal, Rp6,8 triliun dana nilai manfaat digunakan tanpa audit real-time oleh BPK.
“Selama ini kita hanya disodori angka-angka,” kata Anggota Komisi VIII, Bukhori Yusuf. “Tapi bagaimana itu dihitung? Investasinya ke mana saja? Margin-nya berapa? Kita tak bisa jawab.”
Lebih lanjut, DPR mencatat ada potensi inefisiensi pengadaan layanan haji yang mencapai 10-15 persen dari total biaya, angka yang bisa menghemat miliaran rupiah bila sistem dikelola lebih terbuka.
Ibadah yang Dijadikan Industri
Seorang staf internal di BPKH yang enggan disebutkan namanya menyebut ada desakan politik menjelang musim haji untuk menyetujui sejumlah pengadaan dalam waktu singkat. “Kadang tidak masuk akal, tapi harus jalan. Karena ini proyek presiden,” ujarnya.
Ini membuka pertanyaan besar: apakah haji telah berubah menjadi industri elite—yang menempatkan jemaah hanya sebagai objek, bukan subjek pelayananang staf internal di BPKH yang enggan disebutkan namanya menyebut ada desakan politik menjelang musim haji untuk menyetujui sejumlah pengadaan dalam waktu singkat. “Kadang tidak masuk akal, tapi harus jalan. Karena ini proyek presiden,” ujarnya.
Ini membuka pertanyaan besar: apakah haji telah berubah menjadi industri elite—yang menempatkan jemaah hanya sebagai objek, bukan subjek pelayanan?
Ambisi Tak Cukup
Ambisi Presiden Prabowo menurunkan biaya haji lebih murah dari Malaysia bisa jadi lompatan besar jika dilakukan dengan transparansi dan keberanian membongkar monopoli. Namun jika tidak, ia hanya akan menjadi alat propaganda: menarik secara politik, tapi rapuh secara substansi.
Haji bukan sekadar perjalanan spiritual. Ia adalah cermin kejujuran pengelolaan negara terhadap umatnya. Dan pertanyaan paling penting sekarang bukan: bisa lebih murah dari Malaysia? Tapi: apakah kita siap lebih jujur dari mereka?