
MEDAN, www.wasantaraonline.com - Gedung Serba Guna Sumatera Utara di Jalan Williem Iskandar No. 9, Deliserdang, tampak semarak pada pagi 1 Mei 2025. Spanduk warna-warni membentang di setiap sudut ruangan.
Di atas panggung, lagu perjuangan buruh dilantunkan bersamaan dengan deretan hadiah yang berjejer, sepeda, sepeda listrik, hingga peralatan rumah tangga.
Inilah May Day Fair 2025, sebuah perayaan Hari Buruh yang tampak meriah dari permukaan. Namun di balik keriuhan itu, serikat buruh menyerahkan petisi yang menggugat substansi.
Mereka meminta pencabutan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, regulasi yang menurut mereka justru memperlemah posisi buruh dan gagal meningkatkan daya beli rakyat.
Di tengah pidato Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Bobby Nasution yang mengajak semua pihak menjaga iklim investasi, suara-suara serikat buruh terdengar seperti riak kecil dalam lautan retorika pembangunan.
“Kita tahu dinamika global sedang panas-panasnya. Bukan perang senjata, tapi perang ekonomi. Ini berdampak pada Indonesia dan Sumut. Maka investasi harus dijaga," ujar Bobby dalam sambutannya.
Seruan ini, meski tampak rasional, menimbulkan pertanyaan, sejauh mana investasi dijaga, dan siapa yang dijaga?
Bobby menegaskan, semakin banyak investasi masuk, semakin besar kebutuhan tenaga kerja.
Namun, ia juga mengungkap fakta getir, Sumut menjadi salah satu provinsi dengan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) tertinggi. Lebih dari 100 warga Sumut menjadi korban dan sebagian besar dari mereka merupakan bagian dari angkatan kerja yang besar namun tak terserap oleh pasar kerja.
Data dari Direktorat Jenderal Imigrasi dan Satgas TPPO Mabes Polri menyebutkan bahwa dari Januari 2023 hingga April 2025, Sumatera Utara tercatat menyumbang 17% kasus TPPO nasional.
Kebanyakan korban diberangkatkan ke Myanmar dan Kamboja untuk bekerja di perusahaan judi daring ilegal. Mayoritas korban adalah lulusan SMA/SMK yang gagal mendapat pekerjaan di dalam negeri.
Kontradiksi mencolok muncul, bagaimana mungkin daerah yang mengklaim siap menyambut investasi besar justru menyumbang angka tertinggi perdagangan manusia.
Jika angkatan kerja Sumut diperhitungkan secara nasional, mengapa mereka terpaksa berangkat ke luar negeri dengan jalur ilegal, mempertaruhkan nyawa.
Alih-alih menjawab tuntas persoalan struktural ini, Pemprov Sumut memilih pendekatan seremonial, dukungan dana pelatihan untuk serikat buruh dari APBD. Tak dijelaskan berapa besar dana itu, siapa yang mengelola, dan bagaimana mekanisme akuntabilitasnya.
Dalam laporan BPKP Sumut tahun 2024, program pelatihan tenaga kerja yang dikelola Dinas Tenaga Kerja menunjukkan hanya 11% lulusan pelatihan yang berhasil diserap ke dunia kerja dalam waktu enam bulan. Sisanya kembali menganggur.
Bahkan, beberapa pelatihan tidak sesuai kebutuhan industri yang ada, karena kurikulumnya tidak diperbarui sejak 2020.
“Kami capek dengar janji. Kami ingin kontrak tetap, upah layak, dan perlindungan dari pemecatan sepihak,” ujar Sumiati (38), buruh pabrik tekstil di kawasan Binjai, yang ikut hadir namun tak dapat tempat bicara di podium.
“Kalau cuma dikasih sepeda, tapi kerja tetap kontrak dan gaji tetap UMR, apa artinya May Day buat kami?”
Sementara itu, buruh menyodorkan harapan: Job Fair dijadikan agenda nasional. Tapi di sisi lain, dalam petisinya mereka juga mencatat bahwa kenaikan upah minimum 6,5% pada 2025 belum cukup untuk menutupi lonjakan harga kebutuhan pokok. Kesejahteraan masih jauh panggang dari api.
Akademisi dari Fakultas Hukum USU, Dr. Rina Siregar, menilai bahwa UU Cipta Kerja telah menciptakan celah eksploitasi terhadap buruh di sektor industri padat karya.
“Keleluasaan PHK sepihak, sistem kerja kontrak berkepanjangan, serta fleksibilitas upah adalah contoh bagaimana negara lebih berpihak pada kenyamanan investasi daripada hak-hak dasar pekerja,” ujarnya.
Perayaan May Day di Sumut mungkin tampak megah di permukaan. Namun ia juga menyisakan ironi, antara semangat menjaga iklim investasi dan realitas pekerja yang terpinggirkan.
Antara panggung yang penuh hadiah dan kenyataan hidup yang tetap tak berubah bagi ribuan buruh di Sumut. Apakah pesta ini benar-benar untuk buruh, atau hanya demi citra penguasa yang ingin dikenang ramah terhadap investor?